Ad Maiorem Dei Gloriam

Story : Daun Terakhir yang Tak Pernah Gugur

Courtesy by : O. Henry (1862-1910)

New York, 1967, daerah kumuh yang sangat memprihatinkan. Gedung-gedung tua berjejer. Apartment yang sempit, tembok yang berjamur, dan orang-orang aneh menjadi ciri khas daerah itu. Orang-orang aneh itu sebagian besar adalah pelukis jalanan. mereka mencari nafkah dengan melukis, baik itu melukis di kanvas maupun melukis di trotoar. Sebagai pelukis jalanan, mereka hanya mampu mencukupi makan tiap hari dan sewa apartment yang murah itu.

Salah satu dari mereka adalah Marie. Dengan adiknya mereka berdua menyewa kamar yang sempit, yang sangat tidak layak untuk ditempati. Tempat tidur yang sudah busuk, dinding yang berjamur dan menyebarkan bau tidak enak, tapi apa boleh buat... uang yang mereka dapat tiap hari kadang untuk makan saja tidak cukup.

Biarpun demikian, mereka pantang untuk melakukan sesuatu yang jelek atau melanggar hukum. Pernah ada yang menawari Marie dan Joan adiknya untuk memanfaatkan tubuh mereka demi uang, tapi mereka tetap pada prinsip mereka. Para pelukis di daerah itu memang gitu, salah satu ciri khas yang bisa dibanggakan. Mereka lebih memilih hidup miskin dan berkekurangan daripada berbuat sesuatu yang salah.

Karena mereka, para pelukis itu adalah orang kristen, setiap hari Minggu mereka selalu berkumpul untuk beribadah, meskipun tanpa pendeta yang melayani. Mereka memakai saat itu untuk sharing, saling bertukar cerita dan saling menguatkan. Jika ada yang kurang beruntung suatu hari, mereka akan saling menopang dan saling berbagi.

Suatu saat, saat musim dingin menusuk New York, Joan jatuh sakit. Tubuhnya menjadi sangat lemah dan semakin parah. Untuk bangkit dari tempat tidur saja dia tidak kuat. Dengan uang yang terkumpul dari para pelukis jalanan itu, Marie memanggil dokter, dan hasil pemeriksaan dokter sungguh mengejutkan. Joan menderita radang paru-paru, karena dia selalu bekerja di luar menjual lukisan di trotoar, di tengah musim dingin, dan tanpa baju hangat yang layak.

Untuk sembuh, Joan harus beristirahat total, makan yang cukup bergizi, dan yang terpenting adalah semangat hidup yang tinggi untuk melewati masa-masa kritis di tengah musim dingin. Dan ini yang menjadi masalah terbesar. Joan sama sekali putus asa dan tidak mempunyai semangat hidup sama sekali. Semua temannya datang untuk menguatkan dia, tapi percuma. Dia berpikir bahwa inilah akhir hidupnya. Dia tahu benar keadaannya. Dia tidak akan mendapat makanan yang bergizi, dia tidak akan mendapat kehangatan yang cukup untuk melewati musim dingin, dan tidak ada obat untuk membantu dia bertahan.

Semakin hari dia semakin lemah dan putus asa. Marie sangat sedih akan hal ini. Semua upaya sudah dilakukan untuk membesarkan hati Joan, tapi sia-sia. Joan tidak bergairah untuk makan, bahkan untuk berbicara dengan siapa pun. Dia hanya mengucapkan beberapa kata di pagi setiap harinya, yaitu ketika matahari terbit, dia selalu meminta Marie untuk membuka jendela kamar agar dia dapat melihat tanaman yang merambat di dinding tembok yang berhadapan dengan kamar mereka. Tanaman itu merupakan tanaman menjalar yang berdaun lebar, dan tanaman itu merupakan semangat hidup Joan satu-satunya.

Setiap kali Marie membuka jendela, dia melihat tanaman itu dan sambil tersenyum lemah dia berkata, "Tanaman itu lucu sekali, dia tahu bahwa dia hanya tanaman kecil yang lemah, hanya dapat bergantung pada tembok yang kokoh itu. Tapi dia sombong sekali, mengira bahwa dengan bersandar pada tembok itu dia dapat melewati musim dingin yang ganas ini". Marie sangat sedih setiap kali Joan berkata ini, "Suatu saat semua daunnya akan gugur dihantam angin musim dingin, saat itu juga aku akan pergi bersama dia".

Dan setiap pagi Joan selalu menghitung daun-daun itu. "Tujuh daun lagi." dan besoknya, "Enam daun lagi", "Lima daun lagi", dan Joan semakin lemah dan lemah. Marie pun putus asa, tidak ada harapan sama sekali. Dia hanya dapat berdoa agar daun-daun itu tetap bertahan, dan setiap pagi dia membuka jendela dengan hati yang berdebar-debar, berharap masih ada daun di situ.

Suatu pagi, Marie tergoncang sekali ketika melihat hanya ada satu daun yang tersisa melekat di tembok itu. Joan tersenyum lemah, "waktunya sudah dekat. Malam ini angin dingin akan mengantar kami." Marie semakin pasrah. Malam itu dia tidak tidur, dia berdoa dan menangis, seiring dengan terjadinya badai. Angin mengguncang jendela-jendela dengan dasyat, Marie tetap berlutut dan menangis kepada TUHAN. Dia meminta suatu keajaiban, sesuatu yang dapat menahan kepergian Joan, dia sangat mencintai adik satu-satunya itu. Akankah Joan pergi dan bergabung dengan semua keluarganya yang telah mendahului mereka ? Ayah, Ibu, dan adik-adiknya meninggal ketika kebakaran, api menelan semua harta mereka dan mengantar seluruh anggota keluarga, kecuali Marie dan Joan. Setelah mereka bertahan hidup sekian tahun, kini Joan akan pergi meninggalkan dia juga.

Paginya, suatu pagi yang menentukan, dengan lemah Joan membuka mata dan meminta Marie membuka jendela agar dia dapat melihat tanaman itu. Dengan gemetar Marie membuka jendela, dan,.... ajaib ! Daun itu masih melekat pada tembok. Mustahil ! semalam terjadi badai yang dasyat, dan pagi ini daun itu masih melekat pada tembok seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam. Joan tersenyum lagi dan berkata, "Aku masih mempunyai satu hari lagi". Marie sangat senang, tapi dia tetap khawatir. Hari ini daun itu dapat bertahan, tapi besok atau hari ini pasti dia akan gugur juga. Marie benar-benar sudah pasrah akan hal ini. Dia cuma dapat bersyukur bahwa dia masih boleh bersama Joan hari ini.

Besoknya, kembali dengan tangan bergetar Marie membuka jendela, dan.... daun itu masih tetap di situ ! Marie tidak dapat mempercayai hal ini, tapi dia senang sekali. Dia mengucap syukur dengan tidak henti-henti.

Beberapa hari setelah itu, daun itu masih tetap bertahan. Hari ketujuh, Joan tersenyum dan berkata kepada Marie, "Daun itu menyadarkan aku. Kalau dia bisa sekuat itu, aku juga bisa. Tolong buatkan bubur ya, aku lapar sekali." Marie sangat gembira. tanpa disuruh dua kali dia segera menyiapkan bubur buat Joan. Joan sudah mau makan kembali, itu tandanya semangat hidupnya tumbuh kembali. Hari demi hari Marie merawat Joan, dan tiga minggu setelah itu Joan berangsur-angsur sehat. Dia sudah dapat berjalan-jalan, hanya belum boleh keluar karena di luar masih musim dingin.

Hari minggu kembali para pelukis itu berkumpul untuk kebaktian. Joan sangat senang dapat kembali berkumpul dengan sahabat-sahabatnya itu. Tapi dia merasa ada yang kurang. " Adakah yang dapat mengatakan kepadaku dimana si tua Paul ? sewaktu aku terbaring sakit, dia sering datang membawakan kue kismis dan menguatkanku. Waktu itu aku tidak mempedulikan kalian sama sekali. Mungkin karena itu dia menjadi kecewa, dan sejak bulan lalu dia tidak pernah datang lagi ke kamar kami. Aku ingin minta maaf dan berterima kasih kepadanya. Dimanakah dia ? "

Mendadak semuanya terdiam, dan dengan suara perlahan Marie menjawab, "Joan, bulan lalu si tua Paul ditemukan meninggal di kamarnya. Pagi hari setelah badai itu, mereka menemukan dia meninggal kedinginan, di tangannya dia menggenggam kaleng cat dan kuas. Daun yang terakhir itu, merupakan karya besar terakhirnya..... "

0 comment:

Kita masing-masing adalah malaikat bersayap satu. Dan hanya bisa terbang bila saling berpelukan. (Luciano de Crescenzo)
Semesta merespon setiap kehendak kita. Apa yang kita pikirkan dan percayai sepenuh hati, akan menjadi semacam doa yang terkirim pada dunia
dan semesta akan memberikan semua keinginan kita. Kuncinya adalah berusaha tetap berenergi tinggi dan memakai kekuatan kehendak dengan cara positif.

Masa lalu adalah masa lalu (past), masa depan adalah masa depan (future). Tetapi masa kini adalah hadiah. Oleh karena itu disebut present. We live for today…so don’t look back.

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP