Ad Maiorem Dei Gloriam

True Story : Bullying selalu ada di setiap masa

Courtesy by : Irfa Hudaya Ekawati

"Bunda, di kelasku ada anak laki-laki yang nakal sekali," certa Anya suatu sore.
"Nakal kenapa?" aku mencoba menanggapinya sewajarnya, maklum, kadang anak yang tidak sependapat dengan Anya dikatakan nakal olehnya.
"Aku kemarin dipukul," katanya.
"Apanya?"
"kepalaku."

"Kalau Anya dipukul, bilang ma temanmu 'aku nggak mau dipukul' gitu."
"Aku dah bilang, tapi dia trus nendang aku."
"Ditendang apanya?"
"v*****ku. Sakit sekali je."
Aku kaget, kok dia baru cerita sekarang.
"Trus kamu gimana?"
"Aku bilang, 'sakit tau'."
"Kalau udah kamu bilangin ga mau berhenti, hindarin aja."
"Udah... aku udah pergi malah ngikutin aku."
"Trus kamu gimana?"
"Aku bilang,'nek kamu masih nakal ganti tak pukul lho' trus dia ngece (melecehkan) aku."


Aku masih bersyukur, Anya masih bisa melawan, walau baru sebatas verbal saja. Tapi setidaknya dia punya pertahanan diri dari bullying yang dialaminya.

Aku tak bisa membayangkan jika Anya tak punya nyali untuk melawan. Aku takut dia mengalami hal seperti yang dialami temanku di masa remaja.

Seorang teman, dia anak pindahan dari daerah lain. Dia cantik, tutur katanya halus, pintar, punya potensi disukai banyak orang. Dan memang beberapa teman cowok suka dengannya. Tapi dia mengalami apa yang sekarang dinamakan bullying. Banyak teman perempuan kala itu memusuhinya, tanpa dia tahu penyebabnya. Dia berusaha manis dengan orang lain, tetapi yang dia dapat begitu banyak luka.

Tak banyak teman yang bersikap manis padanya. Begitu juga aku. Walau aku tak secara langsung memusuhinya, tapi aku juga tak begitu akrab dengannya, tak bermanis-manis padanya. Aku tak mau ikut dikucilkan karena aku berteman dengannya. Padahal aku sendiri juga tak melihat kesalahannya. Apakah karena kemampuannya itukah yang membuat kami tidak menyukainya? Aku tak tahu jawabannya karena saat lulusan aku tak tahu kabarnya, dan aku juga tak ingin tahu.

Facebook mempertemukan kami kembali. Sebentuk luka yang pernah tertoreh padanya kembali muncul kala kami membuka diri. Betapa aku ingin menangis kala dia menyebut dirinya 'public enemy'. Dia merasa kesepian ditengah keramaian. Sungguh menyesakkan jiwa. Air mataku sempat menetes kala dia bercerita perasaannya saat itu. Aku bisa merasakan luka itu.

Sangat jelas, bahwa luka itu sangat mempengaruhi jiwanya. Tapi yang patut disyukuri, dia bisa mengambil hikmah dari apa yang pernah dia rasakan, dia dapatkan. Walau yang dia dapatkan hanya kesuraman belaka.

Aku berpikir, bagaimana jika hal itu dialami Anyaku? Aku tak sanggup membayangkan.

Salut untuk temanku, teman remajaku, dia membiarkan semuanya pergi, tak perlu mengenangnya, dan dia memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya.

Untuk temanku, ini wujud permintaan maafku.

0 comment:

Kita masing-masing adalah malaikat bersayap satu. Dan hanya bisa terbang bila saling berpelukan. (Luciano de Crescenzo)
Semesta merespon setiap kehendak kita. Apa yang kita pikirkan dan percayai sepenuh hati, akan menjadi semacam doa yang terkirim pada dunia
dan semesta akan memberikan semua keinginan kita. Kuncinya adalah berusaha tetap berenergi tinggi dan memakai kekuatan kehendak dengan cara positif.

Masa lalu adalah masa lalu (past), masa depan adalah masa depan (future). Tetapi masa kini adalah hadiah. Oleh karena itu disebut present. We live for today…so don’t look back.

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP